Layak beli kah Kindle?
#026: Menimbang apakah kindle layak dibeli atau tidak
Saya akan bilang dari awal paragraf, “Salah satu keputusan pembelian terbaik saya sepanjang hidup adalah membeli Kindle”. Pada awal 2020, saya memutuskan membeli Kindle Paperwhite Gen 10 bekas dari lokapasar (marketplace). Meskipun bekas, kondisinya masih baik dan minim baret, jadi saya cukup senang.
Dari sini, perjalanan saya mengonsumsi konten buku digital pun dimulai. Saya berharap bisa lebih rajin membaca sebab kindle memberikan kesempatan lebih banyak berdekatan dengan bacaan, karena ia mudah dibawa ke mana saja. Namun, ternyata tidak mesti demikian. Setelah saya coba renungi selama 4 tahun memiliki kindle, sebetulnya punya kindle tidak secara signifikan meningkatkan banyak buku yang saya sudah baca, tetapi ada satu hal menarik yang pasti: Saya lebih banyak terpapar bacaan dengan genre yang lebih luas dan tidak hanya terpaku pada buku karya sastra.
Memiliki kindle, nyatanya memberi saya kesempatan lebih untuk memaparkan diri pada tema-tema dan buku yang sama sekali tidak bisa saya akses jika hanya mengandalkan pembelian buku fisik. Contohnya saja, beberapa buku bertema Teknologi dan IT. Sepengalaman saya, sangat sukar untuk menemukan toko yang menjual buku IT dan Teknologi terkini dengan harga terjangkau. Namun, dengan kindle kita bisa mengaksesnya dengan lebih ‘murah’. Terlebih (jikalau kita menyetel wilayahnya ke AS), kita bisa mendapatkan Kindle US Deals, yang tak jarang mendiskon buku hinga $0. Cincai sekali ini.
Kindle membantu saya membangun kebiasaan membaca sebelum tidur, lumayan untuk menambah beberapa hal menarik sebelum kita menutupkan mata. Biasanya, saya membaca novel yang sedang saya senangi. Lalu membaca beberapa buku pengembangan diri. Ritual ini penting dilakukan, sebab saya sering beralasan kekurangan waktu untuk membaca buku.
Setelah berbagi pengalaman saya dengan Kindle, saya jadi teringat berbagai aspek lain dari perangkat ini yang belum saya ceritakan. Kindle, seperti halnya teknologi lain, memiliki sisi positif dan negatifnya sendiri.
Salah satu hal yang paling saya sukai dari Kindle adalah portabilitasnya. Saya bisa dengan mudah menyelipkannya ke dalam tas kecil atau bahkan saku jaket, membawa ribuan buku ke mana pun saya pergi. Ditambah lagi, baterainya yang tahan lama memungkinkan saya membaca selama berminggu-minggu tanpa perlu khawatir kehabisan daya, dari pola penggunaan saya, jikalau rajin membaca baterai kindle bisa kuat seminggu penuh.
Layar e-ink Kindle juga fitur lain yang menjadi favorit saya. Berbeda dengan layar ponsel atau tablet yang bisa melelahkan mata, layar Kindle terasa nyaman bahkan setelah berjam-jam membaca. Saya bisa membaca dalam kegelapan.
Namun, saya harus akui bahwa Kindle tidak bisa sepenuhnya menggantikan pengalaman membaca buku fisik. Ada sensasi tersendiri saat memegang buku sungguhan, membalik halamannya, dan mencium aroma kertasnya yang khas — ini tidak dimiliki kindle. Kindle juga punya keterbatasan dalam menampilkan buku-buku dengan format khusus atau yang memerlukan warna, seperti buku anak-anak bergambar (sejauh ini memang ada beberapa pabrikan yang mengeluarkan edisi warna, tetapi harganya kelewat mahal).
Meski begitu, fitur-fitur Kindle selalu berhasil memukau saya. Saya sangat mengandalkan ‘kamus terintegrasi’ untuk mencari arti kata-kata sulit tanpa harus meninggalkan halaman yang sedang saya baca, ini fitur yang sangat penting untuk menambah kosa kata saya.

Namun, ada kalanya saya merindukan kemudahan meminjamkan atau menjual buku seperti yang bisa dilakukan dengan buku fisik. Harga investasi awal Kindle juga mungkin terasa mahal bagi sebagian orang, meskipun saya merasa itu sebanding dengan manfaat yang didapat dalam jangka panjang.
Setelah merenungkan semua hal ini, saya semakin yakin bahwa keputusan membeli Kindle adalah investasi yang tepat untuk perjalanan literasi saya. Pada akhirnya, nilai Kindle bagi saya tidak hanya terletak pada jumlah buku yang saya baca, tetapi lebih pada bagaimana ia memperkaya pengalaman membaca saya dan membuka akses ke pengetahuan yang mungkin sulit saya jangkau sebelumnya. Di tengah dunia yang dibanjiri konten audio-visual, Kindle menjadi penyeimbang. Buaian konten audio-visual, tak dinyana memanjakan kita untuk secara pasif mengonsumsi konten dan sialnya memperpendek daya fokus kita. Selengkapnya, baca di konten berikut ini:
Hal paling penting, terlepas membaca dengan Kindle atau buku fisik, adalah kamu menikmati bacaan dan dapat membaca untuk kesenangan. Sebab bacaan bisa mengasah daya imajinasi kita, dan memperhalus moral dengan cerita dan pengalaman hidup orang sebelum kita. Jadi mari rayakan itu semua, nyatanya membaca adalah satu bentuk kemewahan, bukan begitu?
Berikan komentar 💬, tepukan 👏🏻 jika merasa tulisan ini beresonansi denganmu. Terima kasih. 🙏🏻