Karya terjemahan
#025: Selamat Hari Penerjemahan Internasional!
Menerjemahkan suatu karya adalah perkara yang tidak mudah. Terlebih, karya-karya non-fiksi bertopik berat. Saya sempat ‘dibuat’ kapok membaca karya terjemahan, sebab dulu sempat membeli salah satu karyanya Albert Camus yang berjudul “Pemberontak” dari salah satu penerbit, yang kalau kamu pernah membelinya pasti sama-sama tahu betapa tidak berkenannya hasil terjemahan tersebut.
Kekapokan membaca karya terjemahan membawa saya berpaling ke versi berbahasa Inggris, padahal ini pun bukanlah bahasa aslinya. Ada baiknya juga. Gara-gara itu, saya jadi terbiasa membaca buku berbahasa inggris, padahal dulunya saya tidak betah berlama-lama membaca paragraf dalam bahasa Inggris. Saya merasa beban mental saya meningkat dua kali lipat dan merasa lebih cepat lelah dari biasanya tiap kali membaca dalam bahasa Inggris.
Saat itu saya masih di bangku SMA dan kemampuan memahami dan membaca narasi dalam bahasa Inggris saya tidak terlalu membahagiakan.
Belakangan ini, saya tengah membaca satu novel berjudul “Babel” karya R. F. Kuang. Sejauh ini saya senang dengan novel ini. Selain memberikan gambaran masa kolonialisme Inggris pada abad ke-19, novel ini juga mengajak menemukan sisi lain dari suatu bahasa dan apa pentingnya tradisi menerjemahkan karya dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Saya dibuat merenung bagaimana bahasa bisa menjadi alat kekuasaan sekaligus perlawanan, dan bagaimana penerjemahan bisa menjadi jembatan antar budaya.
Terlebih saat sang protagonis semakin menyadari bahwa kemampuan penerjemahan yang ia pelajari di Babel sebenarnya digunakan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial Inggris atas negara-negara jajahan. Ia dan teman-temannya perlahan-lahan terseret ke dalam konflik antara kepentingan kolonial dan gerakan perlawanan bernama Hermes. Konflik ini semakin membuat plotnya terasa seru.
Di Hari Penerjemahan Internasional ini, 30 September, saya menyadari betapa pentingnya tradisi penerjemahan terutama di Indonesia, yang tidak semua orang memiliki kemewahan untuk pandai berbahasa asing dan mampu memahami karya dalam bahasa aslinya.
Sayangnya, saya merasa tradisi ini belum sepenuhnya mengemuka di negeri kita (atau setidaknya insentif pemerintah terasa tidak kentara). Padahal, penerjemahan memiliki peran vital dalam penyebaran pengetahuan dan pemahaman lintas budaya.
Sejarah Indonesia sendiri sebenarnya tak lepas dari peran penerjemahan. Pada masa penjajahan, penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Melayu, Jawa dan bahasa daerah lainnya membantu menyebarkan ide-ide baru.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Tan Malaka dan Soekarno juga dipengaruhi oleh karya-karya asing yang mereka baca. Beberapa tokoh pergerakan bahkan menjadi penerjemah karya-karya mahsyur di Barat, seperti misalnya, Mohammad Yamin. Namun, pasca kemerdekaan, sepertinya fokus kita lebih banyak diberikan pada pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang memang baru seumur jagung.
Saya berharap makin banyak karya terjemahan yang bermutu baik dan enak dibaca di Indonesia. Tidak mudah, saya akui. Menerjemahkan karya tidak serta merta mengubah kata-per-kata dari bahasa Inggris ke Indonesia. Lebih dari itu, menerjemahkan karya perlu kecermatan dan kecerdasan berbahasa dan kepekaan untuk menangkap makna.
Dalam tiap bahasa, ada beberapa kata yang memang tidak mudah dialihbahasakan. Seperti misalnya dalam bahasa Portugis “Saudade”, kata tersebut dipakai untuk menggambarkan perasaan nostalgia yang mendalam yang tidak berkesudahan pada seseorang — ah, saya jadi teringat lagu bossa nova kesukaan saya “Chega de Saudade”-nya Tom Jobim.
Penerjemah perlu memahami latarbelakang budaya dan akar kata tersebut mengemuka. Sebab bahasa adalah perkara yang tidak sederhana. Ia adalah intisari kompleksitas manusia. Selain perlu mempertahankan kesolidan makna, penerjemah juga perlu bisa menangkap nuance, konteks, dan makna-makna yang tersembunyi. Sangat tidak mustahil pembaca bisa terjatuh pada jurang “lost in translation”, yang tak jarang kita temui saat membaca karya terjemahan.

Namun, ada pula satu karya terjemahan yang saya sukai dan sangat baik penerjemahannya, meskipun saya akui belum pernah sekalipun membaca dari teks aslinya.
Novelet ini berjudul “Rumah Kertas” karya Carlos Maria Dominguez, seorang penulis asal Amerika Latin yang diterjemahkan oleh Mas Ronny Agustinus. Novelet tersebut ringkas dan bisa selesai dalam sekali duduk. Saya acapkali membaca novelet tersebut jikalau bosan dan tidak tahu harus membaca apa. Bagi saya, penerjemahan Rumah Kertas tidak terasa kaku dan enak dibaca.
Saya berharap kamu sudi membeli dan membacanya juga, sebab terjemahan dari Marjin Kiri (penerbit karya-karya ini), sungguh sangat bagus, setidak-tidaknya menurut saya.
Penerjemahan karya sastra dan bacaan lainnya adalah jembatan yang menghubungkan dunia-dunia yang berbeda. Ia bukan sekadar mengalihkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga memindahkan pemikiran, emosi, dan budaya — yang bisa saja sama sekali berbeda.
Saya amat sadar tingkat kesukaran ini dan memberi hormat setinggi-tingginya pada para penerjemah sastra dunia ke bahasa Indonesia dan kepada mereka yang menerjemahkan karya berbahasa Indonesia ke bahasa lainnya. Akhir kata, selamat hari penerjemahan internasional!
Berikan komentar 💬, tepukan 👏🏻 jika merasa tulisan ini beresonansi denganmu. Terima kasih. 🙏🏻